Perkembangan dunia TI di Indonesia akhir-akhir ini. Agak lucu memang., tapi itulah kenyataan. Dunia TI yang sarat dengan teknologi ternyata tidak terbebas dari perilaku negatif yang berbuntut pencemaran nama baik. Mulai dari SMS (short message services), email dan terakhir melalui mailing list. Pertanyaan anda sebenarnya mudah untuk dijawab namun sulit bagi pelakunya dikenakan sanksi. Seperti kita ketahui bahwa internet telah memberikan kemudahan bagi kita untuk mendapatkan informasi. Termasuk mailing list, sebagai salah satu fitur yang digunakan oleh para netter untuk bertukar dan berbagi informasi.
Tidak sedikit anggota mailing list yang “menyalahgunakan” keanggotannya dalam sebuah mailing list. Secara sederhana, penyalahgunaan tersebut dapat di eliminir dengan memberikan peringatan kepada yang bersangkutan untuk mengakhiri perbuatannya. Mailing list diyakini oleh sebagian orang (netter) sebagai sarana efektif untuk berbagi informasi. Persoalannya adalah, sejauhmana informasi yang diperkenankan untuk dipertukarkan di dalam mailing list tersebut.
Seorang administrator dari sebuah mailing list biasanya selalu membuat satu ketentuan yang melarang para anggota mailing list untuk mengirimkan informasi yang bernuansakan SARA (Suku Agama Ras dan Agama). Bilamana yang bersangkutan (pelaku) mengirimkan informasi yang bermaterikan SARA, hal tersebut telah memberikan dasar bagi administrator untuk memberikan peringatan hingga sanksi dikelaurkan dari keanggotaan mailing list.
Pertanyaannya, beberapa pertanyaan yang dapat dikembangkansejauhmanakah sanksi tersebut dapat berlaku efektif...? belum lagi bila informasi yang dikirimkan menyinggung pribadi (perasaan) salah satu anggota mailing list. Dapatkah hukum positif (tertulis) diberlakukan bagi tindakan tersebut? Apakah kepolisian dapat mengambil tindakan tegas terhadap pelakunya? Bilamana yang diketemukan bukti elektronik berupa “informasi” yang ada dalam sebuah mailing list, dapatkah alat bukti tersebut diterima dihadapan pengadilan?
Pertanyaan diatas, dapat kita bahas satu persatu untuk menegaskan duduk persoalan peyalahgunaan mailing list sebagai salah satu fitur untuk bertukar informasi untuk mencemarkan nama baik seseorang. Tidak menutup kemungkinan penuntutan atas pencemaran nama baik melalui mailing list menjadi preseden dalam dunia hukum di Indonesia.
Etika tidak akan efektif.....?Bicara soal etika, kuncinya kembalikan kepada komunitas. Sejauhmana etika terseut efektif bergantung pada “kesepakatan” yang dibuat oleh para anggota komunitas. Meski keanggotaannya dapat terbuka atau tertutup, mailing list dapat disetarakan sebagai ruang publik Seperti kita ketahui, etika merupakan “ketentuan” yang disepakati bersama diantara para anggota suatu komunitas. Materi etika untuk berinformasi dapat saja berbeda antara satu dengan yang lain. Etika tersebut hanya berlaku dan mengikat komunitas bersangkutan. Jadi bicara efektifitas, suatu etika hanya akan berlaku di komunitas tersebut. mengenai sanksi tentunya bergantung pada kesepakatan dari anggota mailing list.
Etika berinformasi sebagai wujud berdemokrasi dalam berinformasi harus dapat menjembatani anggota dalam menyelesiakan konflik antar anggota. Bila tidak, etika tersebut hanya akan menjadi ketentuan usang yang tidak akan pernah berguna. Untuk itu, perlu ketegasan dari para pengguna untuk membuat peraturan yang akan dijadikan rujukan bilamana terjadi perilaku negatif.
Etika yang lebih dikenal dengan code of conduct tentunya memiliki karakteristik yang berbeda dengan hukum positif (tertulis). Dapat saja, etika tersebut disalin menjadi sesuatu yang tertulis, namun demikian etika tersebut tidak dapat dijadikan sandaran untuk menuntut secara hukum bilamana seseorang merasa dicemarkan nama baiknya.
Bila pertanyaannya, apakah etika berinformasi dalam sebuah mailing list dapat berlaku efektif? jawabannya adalah, etika dapat berlaku efektif tapi hanya di dalam ruang publik yang namanya mailing list. Namun bila hal tersebut dibawa “keluar” dari mailing list maka etika tersebut tidak akan berlaku. Meski masih menjadi perdebatan, dapatkah etika tersebut dijadikan landasan hukum? jawaban saya cukup singkat, etika hanya mengikat suatu komunitas. Sehingga kuncinya, soal etika kembalikan pada komunitas.
Kemudian terdapat pandangan lain, internet termasuk di dalamnya mailing list hanyalah merupakan media untuk berinformasi. Sehingga terjadinya suatu pendefinisian yang cukup tegas, bahwa tidak menjadi suatu persoalan menggunakan suatu media, sepanjang unsur perbuatan (perilaku negatif) memenuhi ketentuan di dalam undang-undang maka yang bersangkutan harus tunduk pada ketentuan hukum yang ada.
Dalam konteks tersebut, etika berinformasi hanya merupakan sandaran untuk “menghukum“ pelaku dnegan mengeluarkan yang versangkutan, sedang ketentuan hukum yang dapat memberikan hukuman sebenarnya tetap di dasarkan pada ketentuan hukum yang tertulis, berlaku dan mengikat masyarakat. Sehingga, soal etika bergantung pada "nilai" yang dianut oleh masyarakat.