Tuesday, March 20, 2007

“Dilupakannya” Perkumpulan Berbadan Hukum Sebagai Badan Hukum

Menoleh kebelakang, kira-kira 137 (seratus tiga puluh) tahun yang lalu bangsa Indonesia telah mengalami sebuah peradaban baru dalam kehidupan berbangsa, yakni telah diundangkanya peraturan mengenai organisasi kemasyarakatan yang dikenal pada saat itu sebagai “perkumpulan berbadan hukum”.

Kebersamaan yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia, rupanya menjadi suatu hal yang “menarik” untuk kemudian diatur oleh Pemerintah Belanda pada saat itu. Melalui Keputusan Raja Belanda pada tanggal 28 Maret 1870 mengenai Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen) yang dikenal dengan staatblad 1870 - 64. Sejak saat itu, Bangsa Indonesia telah memiliki aturan yang secara khusus mengatur mengenai organisasi kemasyarakan yang bernama perkumpulan.

Tidak ada yang mengetahui secara pasti berapa jumlah perkumpulan di Indonesia yang telah didirikan sejak republik ini merdeka. Hampir di setiap lini profesi di Indonesia mendirikan perkumpulan dengan nama yang beraneka ragam dengan nama asosiasi, perkumpulan, perhimpunan, kekerabatan, keluarga besar, ikatan hingga paguyuban yang kemudian diikuti dengan nama profesi.

Bila kita cermati, nama-nama “perkumpulan” diatas memiliki dasar pemikiran yang sama yakni kebersamaan untuk mencapai maksud dan tujuan yang sama. Sebagaimana halnya dalam teori berkelompok, setiap individu di dalamnya berkomitmen untuk memajukan organisasi dan mencapai tujuan bersama.

Di Indonesia selama ini seolah hanya dikenal beberapa badan hukum meliputi Perseroan Terbatas, Yayasan, Koperasi, Partai Politik, BUMN, BUMD dan BHMN. Sehingga lembaga atau organisasi yang tidak termasuk/tersebut diatas tidak dapat dikategorikan sebagai ”Badan Hukum”.

Tidak banyak (bahkan para ahli hukum dan Notaris) yang mengetahui mengenai ketentuan staatblad 1870 – 64 tanggal 28 Maret 1870 mengenai Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtspersoonlijkheid van Vereeniging tersebut). Akibatnya keberadaan Perkumpulan Badan Hukum seolah mati suri dan tidak digunakan oleh masyarakat Indonesia dewasa ini.

Friday, March 02, 2007

Membahasakan hukum dengan sederhana

Membahasakan hukum dengan sederhana bukanlah pekerjaan mudah. Istilah hukum yang lebih "populer" dalam bahasa asing menjadikan istilah hukum ini hanya "milik" kamu elit yang bergelar sarjana hukum. Apa mau dikata, 350 tahun penjajahan ternyata memberikan dampak besar bagi perkembangan bahasa.

Bagaimana hukum akan dapat diterima oleh masyarakat sementara masyarakat sendiri tidak mengerti mana dari istilah dimaksud. Ambil contoh, istilah "tertangkap tangan" yang dapat diartikan secara harfiah tertangkap oleh tangan ternyata memiliki makna (arti) yang jauh berbeda.

Sebuah kerja keras bagi beberapa kawan-kawan yang berusaha untuk membahasakan hukum menjadi lebih manusiawi. Bahasa sebagai "bahan dasar" dari komunikasi (hubungan hukum). Bagiamana bisa terjalin sebuah hubungan hukum bilamana tiada "bahasa" yang mempertemukannya.

Istilah hukum tentunya harus dapat diterima dan sejalan dengan kesadaran (budaya) masyarakat. bilamana tidak, hukum (istilah hukum) hanya menjadi sebuah "angan-angan" para elit yang bergelar sarjana hukum.